Tuesday, March 20, 2012

Cara Pandang Terhadap Anak

Kebanyakan masalah antara orang tua dan anak ada pada Komunikasi.  Perbedaan persepsi menghasilkan komunikasi yang berbeda pula.  Bisa kita lihat dari gambar berikut ini.
http://www.inspiratio.web.id/wp-content/uploads/2009/03/woman1.jpg

Ada diantara anda yang melihat ini sebagai gambar perempuan muda.  Ada juga yang melihatnya sebagai gambar nenek ...  Satu gambar, dipersepsi berbeda.

Bagaimana dengan putra-putri kita?  Seperti apakah kita memandang mereka?
Ada yang melihat anak sebagai beban, hingga seringkali kita mengeluh mendapatkan anak yang "nakal", "susah diatur" dan lain-lain. Persepsi kita menghasilkan perlakukan kita pada mereka.

Maka, mari kita benahi cara pandang kita terhadap anak-anak, agar terbangun kesadaran untuk merubah perilaku kita, menjadi orangtua terbaik bagi mereka.

Berikut saya sarikan "Cara pandang terhadap anak"
dari presentasi Teguh Iman Perdana pada peluncuran bukunya "Screaming Free Parenting".  


Cara pandang terhadap anak :
1.  Anak sebagai Amanah Istimewa.  Terkadang kita geleng-geleng kepala melihat 'kelakuan' anak-anak kita yang seringkali tak tertahankan hingga ingin rasanya mereka tak terlihat oleh mata kita.  Tapi ingat, banyak pasangan di luar sana yang sangat mendambakan kehadiran anak dalam pernikahan mereka, dan mereka masih belum diberikan amanah itu.  Amanah adalah sebuah amanah, kita yang dititipi akan diminta pertanggungjawabannya kemudian.  Bagaimanakah respon kita jika kita dititipi sebuah Guci berharga 1 milyar?  Tentu kita akan menjaganya dengan baik. Kalau perlu ia akan dibungkus dengan berbagai pengaman agar tidak pecah.  Bagaimana dengan anak kita?  Nilainya lebih besar dari nilai uang yang ada di dunia ini.  Seperti apa kita memperlakukan mereka? Sudahkah kita menjaga fitrah kebaikan yang telah Allah sematkan padanya?  Ataukah malah kita menjauhkannya dari fitrah itu?


2.  Anak adalah investasi masa depan kita yang sesungguhnya.  Anak shalih yang susah payah kita upayakan akan menolong kita di akhiirat...

3.  Sandaran kita di kala senja.   Lansia Jepang mengalami kesendirian. Bahkan disampaikan ada penyewaan "keponakan-keponakan" yang bersedia datang, bercengkerama, kemudian pulang setelah dibayar...  Bagaimana kita memperlakukan anak kita sekarang dengan kasih sayang... begitulah mereka akan perlakukan kita di masa tua kita nanti...

Hubungan orangtua dan anak itu resiprokal, saling timbal balik.  Tak hanya anak yang harus berbakti.  Kita sebagai orangtua juga hendaknya memuliakan anak.  
Jika Anda tak peduli tentang hal ini,  akan ada orang lain yang peduli : para penjual narkoba, pemilik rumah produksi sinetron, pengiklan game-game kekerasan...dan lain sebagainya.

 

Sunday, March 11, 2012

“Don’t say no to Children”

“Timbulnya sikap atau pandangan popular yang menyatakan bahwa anak selalu benar hanya akan membuat anak tidak bisa menghargai orangtuanya.” (Prof. Malik Badri, Psikolog Muslim)
Dekade 2000-an adalah tanda dari ekspansi konsep pendidikan “Don’t say no to Children” yang menyapu para pemikiran orangtua, khususnya Ibu. Dalam konsep ini seorang Ibu diharamkan untuk menggunakan kata tidak/jangan pada anak-anak. Seperti ‘jangan bandel’, ‘jangan nakal’, ‘jangan malas’ dan lain sebagainya. Sebisa mungkin kata-kata itu dihindari dan diganti kalimat positif seperti menggunakan perintah ‘rajinlah’ sebagai kata ganti ‘jangan malas’. Sekilas konsep ini menarik, anak-anak diajarkan untuk lebih berani mengapresiasi diri. Orangtua pun digembleng untuk lebih ‘menghargai’ potensi anak untuk berkembang. Sebab, menurut konsep ini, pemakaian kalimat negatif cenderung mengekang.
Bahwa kita harus menyertakan alasan ketika memakai kata jangan kepada anak, iya. Tapi penafian kata jangan dalam konsep pendidikan akan berbuah fatal. Karena dalam konsep pendidikan Islam penegasan itu sangat penting, karena Islam adalah sebuah agama dengan kandungan perintah dan juga larangan. Konsekuensi dari keimanan itu adalah bahwa Islam adalah agama yang akan mendelegasikan kata “jangan’ dalam firmanNya.
Oleh sebab itu, sebuah kalimat tauhid yang secara agung dikumandangkan oleh pria mulia bernama Lukmanul Hakim kepada anaknya didokumentasikan secara utuh dalam Al Qur’an.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Adalah keunikan tersendiri jika kita mengkasi surat ini, lihatlah redaksi yang dipakai Lukman. Ia lebih memilih mengedepankan kata penafian, “Jangan mempersekutukan Allah”, ketimbang “Sembahlah Allah.” Sebab pendidikan anak dalam Islam adalah satu rel khusus dimana penegasan menjadi keniscayaan. Dan penegasan tidak dapat terjadi ketika menghilangkan separuh konsep larangan. Dengan memakai kata jangan, Lukman ingin menutup peluang pengakuan adanya Ilah lainnya yang patut disembah.
Rupanya itu bukan satu-satunya kasus, dalam ayat lain Allah juga memakai kata jangan pada beberapa ayat,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali-Imran [3] : 102)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-walimu (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 51)
Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh penampilan orang-orang kafir di berbagai negeri. Itu hanyalah kesenangan sejenak, kemudian tempat kembali mereka adalah (neraka) Jahannam, dan itulah tempat yang paling buruk. Namun bagi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya adalah surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, sebagai tempat tinggal di sisi Allah. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran [3]: 196-198)
Memang di satu sisi kelemahan kebiasaan mengatakan tidak pada anak perlu dikritisi. Ini terjadi karena pada gilirannya, jamak terjadi perkataan tidak dibarengi oleh sebuah penjelasan. Ini yang harusnya dihindari, padahal jika kita kembali merujuk pada nasihan Lukmanul Hakim pada anaknya, perintah larangan dibarengi dengan maksud.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Namun membuang konsep 'jangan' dan 'tidak' pada anak, lebih buruk dari sekedar menghindari kata jangan pada anak. Malik Badri dalam bukunya, “Dilemma of Muslim Psychologist” pernah menyinggung hal ini. Menurutnya para psikolog muslim dan Arab kerap termakan dogma dari psikolog Barat yang menyatakan bahwa “orang tua selalu berada pada fihak yang salah. Sebaliknya berkembangnya sikap atau pandangan yang menyatakan bahwa “anak selalu benar” hanya akan membuat anak menjadi tidak bisa menghargai orangtuanya.
“Saya seringkali mengatakan pada teman-teman yang penuh semangat belajar psikologi anak modern, khususnya terhadap mereka yang hidup di Negara-negara Barat dan dalam masyarakat Islam modern; ‘Jika Anda menginginkan anak-anak Anda tumbuh menjadi remaja yang suka meletakkan kaki atau sepatunya di meja ketika ia berbicara dengan Anda, seperti yang Anda lihat di Film-film Amerika; dan jika Anda menginginkan mereka menaruh Anda dan ibunya di tempat penitipan orang tua setelah Anda menjadi jompo, maka ikuti saja dengan membabi buta nasehat psikologi Barat itu'
Rupanya konsep pelarangan kepada anak tidak saja datang dari dunia Islam. Anthony Storr, seorang psikiater asal Inggris yang banyak melahirkan buku, tidak lepas untuk berbicara mengenai hal itu. Dalam bukunya “The Integrity of Personality”, yang telah menjadi Doktor sejak tahun 1944, mengomentari sikap para psikolog yang tidak menyutujui sikap resktriktif (batasan atau pelarangan) orangtua kepada anaknya. Ia menulis,
“…orangtua terkadang mendapat dirinya diktritik hanya karena peran mereka sebagai orangtua. Orangtua dikatakan “baik” jika mereka menunjukkan sikap protektif atau melindungi, dan dikatakan “buruk” jika menunjukkan sikap restriktif atau mengadakan pembatasan-pembatasan: dank arena proteksi tidak mungkin dilakukan tanpa restriksi, maka tidak ada satu orangtua pun yang dapat melepaskan diri dari dua predikat yang saling bertentangan ini..”
Pada perkembangannya, Malik Badri mewanti-wanti para orangtua muslim untuk berkaca kepada keruntuhan moral pada anak-anak Barat. Tragedi memudarnya sikap respek anak kepada orangtua diakibatkan dari lunaknya pemberian hukuman dari para orangtua. Dan Islam bersama kitab suci Al Qur’an sudah menetapkan relasi anak dan orangtua yang dibungkus sikap mulia. Dalam surah Al Israa, Allah berfirman,
“ dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al Israa: 23-24)
Jalur masuknya konsep “Don’t say no to children” bisa kita lihat sejak psikologi humanisme mengetuk pintu jiwa manusia modern tahun 1950-an. Pasca runtuhnya Psikoanalisa dan munculnya Behaviorisme, Barat masih belum dapat mendefinisikan manusia secara utuh. Jika psikoanalisa menyatakan tiap manusia ditakdirkan sakit dengan ketegangan libido yang membelitnya, maka Behaviorisme menginterupsi psikoanalisa dengan menampik faktor fisiologis sebagai keladi dari kepribadian manusia. Tokohnya adalah Ivan Pavlov disusul Edward Thorndike, John B. Watson, Albert Bandura, dan B.F Skinner.
Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia diciptakan dari hasil belajar, bukan masa lalu seperi klaim kaum psikoanalis. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; mereka hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Nah pada titik inilah, para psikolog tidak setuju. Mereka menilai gagasan kaum behavioris seperti merendahkan derajat manusia. Manusia ditafsirkan tidak memiliki jiwa karena hanya dibentuk oleh lingkungan. Padahal manusia memiliki potensi insani untuk mengubah lingkungan. Akhirnya tridente Yahudi Carl Rogers, Abraham Maslow, Erich Fromm dan lainnya menelurkan gagasan psikologi humanisme.
Namun pada gilirannya humanisme pun berkembang menjadi aliran psikologi yang begitu mengagungkan manusia. Mereka banyak terpengaaruh filsafat eksistensialisme yang terkenal dengan diktumnya Jean Paul Sartre bahwa "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas.

http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/mengapa-yang-dihancurkan-yahudi-pertama-kali-adalah-wanita-6.htm

Friday, March 9, 2012

Belajar dari Si Penangkap Ular


Saya sama teman-teman sampe takjub. kami bangga punya teman kaya Ida. kami kagum sama orang tuanya, bisa mendidik anak sampe kaya gini. kami sampe bilang, ?kalo punya anak nanti, kita pengen anaknya kaya Ida!?“Namanya Rasyida Noor. saya kenalan sama Ida waktu SMP di seleksi OSIS, di ruang Ibu Golek. waktu itu Ida dipanggil buat wawancara OSIS, dan inget pisan dulu Kang Gene manggilnya ‘Rasyida No-or!

Ida itu sangat baik. sebagai teman. sebagai perempuan. sebagai anak. sebagai anggota organisasi. Sebagai ketua.

Ida itu aset berharga, di organisasi manapun dia berada. Ida itu penceria suasana, di lingkaran manapun yang dia sapa. Ida itu ga lupa buat sholat 5 waktu. Ida itu pandai. Waktu tes SERU3 yang susah banget itu, kabarnya Ida ranking 2 dari 1000 orang. Ida itu pewaris jari-jarinya Maksim Mrvica. kalo Ida main Cubana, semua mata pasti ngeliatin Ida. sampai-sampai pas latihan Cubana di 3butes, violinisnya sering banget telat masuk gara-gara ngeliatin Ida. Ida itu jiwa seninya tinggi. Tulisan tangan Ida pun rapi sekali. Ida juga pandai sekali bergaul, dan teman-temannya sangat banyak. waktu Ida bilang “maafin aku ya!” kita semua bingung, Da, apanya yang harus dimaafin?

Jangankan marah, ngomong kasar aja kayanya ga pernah. Ida selalu menghargai orang lain, sekecil apapun hal yang orang lain lakukan buat dia. sampe-sampe waktu dikasih kado aja, belum juga dibuka bungkusnya, Ida udah bilang “wah makasih ini lucu banget!”. Ida itu sekalinya dikasih tanggung jawab, dia pegang erat. Di lingkungan manapun Ida, ga pernah sampe kepengaruh yang jelek banget. malah Ida yang mempengaruhi orang.

Tapi yang paling penting dari semuanya adalah, Ida itu teman baik bagi semua orang.  Makanya waktu Ida bilang mau pergi ke Belgia, susah banget rasanya buat nyembunyiin rasa sedih banget karena kehilangan Ida. Waktu Ida mau pergi, semua temen-temen baiknya bela-belain ngorbanin ini itu tanpa pamrih, cuma buat Ida. Bukan karena dalam 4 tahun tidak akan ketemu Ida. bukan. Tapi karena semua sayang sama Ida. jujur, saya jarang ngabisin waktu sama Ida.

Kita semua ga ada yang pengen Ida pergi ke Belgia. orang kaya Ida ga bisa gitu aja kita persilakan pergi, meski 4 tahun lagi bakal kembali. tapi kita semua tau, Allah punya rencana yang jauh lebih baik buat Ida. dan buat orang sebaik Ida, kita harus mendoakan apa yang terbaik buat Ida. dan ternyata inilah yang terbaik buat Ida: ninggalin kita sampai 4 tahun ke depan.

Saya sama teman-teman sampe takjub. kami bangga punya teman kaya Ida. kami kagum sama orang tuanya, bisa mendidik anak sampe kaya gini. kami sampe bilang, “kalo punya anak nanti, kita pengen anaknya kaya Ida!”

Ayah, Bunda, tulisan ini redaksi kutip dari blok teman Rasyida Noor, Sarah Fauzi Anisa. http://www.tumblr.com/tagged/rasyida+noor. Pertanyaannya, siapa sih orangtuanya?

Kalau begitu mari kita belajar “sedikit saja” dari orangtuanya. Sedikit sebenarnya berarti banyak. Hanya saja yang kami ambil mungkin hanya secuil dari pelajaran banyak lainnya dari beliau. Rasyida Noor adalah anak pertama dari tiga buah hati Andi Yudha Asfandiar.Orangtua yang akrab dipanggil Kak Andi ini adalah pendiri PicuPacu kreativitas Indonesia (picupacu.com), lahir di Malang, 21 Maret 1966,Kak Andi adalah penangkap ular profesional! Hehe itu yang beliau ungkapkan kepada Majalah Auladi.

Kak Andi Yudha juga Penggagas Mizan Komik Indonesia, Penggagas Nomik (Novel-Komik) Remaja – DAR! Mizan, Wakil Indonesia untuk profil/tokoh  Asia untuk masalah Anak dan Kreativitas oleh NHK Jepang pada acara Asia Who's WHO (1999), Delegasi RI sebagai SC Kartunis/Komikus untuk Project Management Committee ASEAN COCI 2000. Dan sekarang lagi tinggal di Brussel Beliga. Dan berikut wawancara dengan Kak Andi Yudha dikutip dari Majalah Auladi Edisi 01, Maret, 2005.

Kata orang Kak Andi seneng sama anak ya?

Niru orang tua aja sebetulnya. Orang tua saya seneng sama anak semua. Mungkin saya melihat lingkungan terdekat saya seperti itu, dari kecil saya suka ikut ngurus anak. Kelas 4 SD sudah ngajar TK. Jadi ceritanya anak kecil ngajar anak kecil. Karena kesukaan itu, timbul kepercayaan diri yang tinggi untuk urusan itu dan akhirnya meningkatkan diri di wilayah itu.

Apa sih senangnya berinteraksi dengan anak-anak buat Kak Andi?

Saya sendiri merasa waktu kecil saya juga diperhatikan, terutama orang tua. Diperhatikan dengan sesuatu yang proporsional, bukan dimanjakan, bukan juga terus ditekan. Sehingga saya dapat mendapatkan kenyamanan di keluarga. Nah, saya tak mendapatkan kenyamanan itu di luar. Di luar, saya melihat orang dewasa, yang badannya gede, arogan, suka melarang ini melarang itu, suka marah, meremehkan, itu yang saya temui.

O, ya, punya pengalaman mengagumkan berkait dengan orang tua ketika kecil?

Mungkin tentang nangkep ular. Waktu saya kelas 3 SD, saat itu minggu pagi, saya diajak jalan-jalan ke museum. Di kolam museum itu saya lihat ada ular air. Saya bilang "Pak ularnya itu ditangkep ya?" "Mana….mana…?", responnya. "Itu kepinggir", kata saya. "Mau ditangkap? Berani kamu?", tanya Bapak. Saya jawab "Berani pak". Terus katanya "Kalau berani tangkap ular itu. Tangkap kepalanya, tapi hati-hati. Dikasi semangat gitu, gede kepala kan? Motivasinya naik, curriocity saya naik. Ya sudah saya tangkap. Sebelum menangkap saya ingat-ingat pesan ayah, "Tangkap  kepalanya, hati-hati".

Setelah melihat saya nangkap, orang tua saya ternyata takut sama ular. Meski begitu, orang tua memberi kesempatan dan kepercayaan pada anak-anaknya dengan memberi motivasi keberanian. Bukan itu saja kan, berani saja tidak cukup, orang tua juga memberi ilmunya untuk nangkep ular. Tapi yang mengagumkan saya, orang tua saya yang takut ular tidak kemudian mewariskan ketakutannya pada saya, pada anaknya. Yang terjadi sekarang, banyak orang tua mewariskan ketidaksukaannya sama anak-anaknya. Sekarang soal takut gelap coba? Yang bikin takut gelap siapa? Pasti orang tuanya sendiri. Kalau lewat tempat gelap, mesti orang tuanya bilang sama anaknya "ssttt jangan lewat situ.. gelap…". Begitu juga dengan ular atau ketidaksukaan lainnya.

Bagaimana anak-anak Kak Andi sendiri, mereka berani juga pada ular?

Berani. Beraninya itu karena saya beri pengetahuan tadi. Kenapa jangan dipegang ininya, kenapa yang dipegang harus itunya, saya kasi tahu. Dengan berpengetahuan, orang juga cenderung tidak arogan sebetulnya. Ini semua kan bisa menjadi media pendidikan. Tadi baru ular kan?

Berarti di sekitar kita sebetulnya banyak obyek yang bisa dijadikan pengetahuan?

Banyak. Coba perhatikan lagi, di sekitar kita juga ada semut. Terus kita lihat lewat, lah masa kita mau mikir semut bawa pisau atau nggak? Kalau misalnya bisa keinjek di jalan, ya pindahin, bukan dibunuh. Nabi Sulaiman juga begitu. Kalau ditanya,  bagaimana kalau semutnya banyak dan mengganggu? Kalau sudah seperti itu, itu ada aturannya Islam juga. Kalau sudah pada taraf mengganggu boleh dibasmi. Ular juga seperti itu. Ya lucu namanya & konyol namanya sudah ada di depan mata dan mau gigit diem aja.

Kak Andi setuju anak itu aset bangsa?

Ya anak itu aset besar, karena itu harus diperhatikan. Kalau anak-anak tak diperhatikan, pasti itu bangsa nggak bagus. Lihat saja negara-negara yang maju, di perhatian terhadap kualitas pendidikan anak pasti bagus.

Negara-negara maju itu padahal kan sekuler, tapi perhatiannya pada anak-anak bagus?

Mungkin ada kekeliruan pemaknaan terhadap Islam. Saya istilahkan kita ini telat membuka Qur'an. Meski pun orang bilang, nggak ada kata terlambat, ya itu ok. Maksud saya sebut terlambat karena yang buka orang lain. Mungkin orang barat nggak tahu itu Qur'an, tapi dia praktikkan, dia laksanakan. Padahal ayat-ayat Qur'an itu ayat-ayat yang bisa dipraktikkan, nah kita tinggal mempraktikkan sebetulnya. Saya sendiri, mungkin karena sudah banyak baca buku, sekarang ini sampai pada titik jenuh baca buku, buku-buku itu jadi saya malas baca, kadang hanya Qur'an saja yang saya baca. Sebetulnya buku-buku yang baik yang banyak bertebaran sekarang ini hanya secuil saja dari kandungan Qur'an. Satu ayat Qur'an, sangat mungkin kandungannya menjadi banyak buku.

Dari situ saya juga merasa bangga menjadi orang Islam, punya kitab yang mengatur dan memuat banyak hal, padahal di tempat lain itu nggak ada. Orang lain nggak punya 'juklak' kehidupan, sedangkan kita punya. Saya pikir wah… keren juga nih Qur'an. Dan yang hebat Qur'an itu sebetulnya untuk segala usia, bukan hanya untuk orang dewasa. Di kita, Qur'an itu dipersepsikan hanya untuk orang dewasa, padahal tidak demikian. Ada nggak pengajian anak-anak? Yang ada pengajian orang tua kan? Pengajian ibu-ibu, pengajian remaja ada. Untuk anak-anak yang ada itu anak-anak yang sedang mengaji, bukan pengajian anak-anak. Alhamdulillah sekarang ini sudah berkembang berbagai metode untuk belajar membaca Qur'an, seperti Iqro dan lain-lain, tapi harus dikembangkan juga dengan pemaknaannya. Maka di Mizan, kita berani mengeluarkan buku tafsir Qur'an untuk anak-anak karena untuk usaha ke arah pemaknaan tadi dengan bahasa mereka.

Bagaimana mengajarkan agama dengan bahasa mereka itu?

Saya mengganggap tidak ada satu titik pun dari kehidupan ini yang tidak termuat dalam agama Islam, itu pendapat saya, terserah pendapat orang lain.  Nah kita harus mengajarkan Islam ini kepada mereka ya dengan bahasa mereka dan kemudian kita ajarkan juga dengan praktik sehingga anak-anak itu bisa melihat dan mencontoh yang kita praktikkan.

Anak saya misalnya suka tanya, "Pa, Bapak ini temannya banyak ya? Kenapa sih?" Saya bilang, "ya nggak tahu. Abis, Bapak ini cuma niru-niru aja". Anak saya tanya, "niru siapa sih?" Saya jawab"ya…itu niru yang awalnya M.. belakangnya D.. itu lho.", kata anak saya "Wah Nabi Muhammad ya Pa?" Saya bilang lagi "Iya. Kalau  jalan suka nyapa yang berhenti. Kalau jalan kaki, suka nyapa yang sedang duduk." Dan pengajaran seperti itu saya terapkan kepada anak-anak saya, itu konsep agama dan langsung praktik di depan mereka. Dan saya juga mengajarkan yang seperti itu di tempat-tempat yang sangat terbuka sehingga satu saat anak-anak itu mungkin ketemu temannya, dan bilang 'Assalamua'alaikum', mungkin nggak akan masalah. Sekarang coba di Mall, ada nggak anak-anak yang ketemu temannya bilang apalagi dengan teriak 'Assalamua'alaikum'. Ada nggak kayak gitu? Nggak ada kan? Mereka kayaknya malu kan?

Mengenalkan agama pada anak-anak itu baiknya gimana? Dengan pengetahuan, hafalan atau apanya dulu?

Dengan praktik dulu, bukan hafalan dulu. Lah Nabi Muhammad itu wong ummi kok, tidak bisa baca dan tulis. Langsung dipraktikkan agama itu kan?  Saya ingat itu juga yang dipraktikkan Bapak pada saya. Saya bisa baca sebelum masuk TK karena Bapak mengajarkan baca dengan praktik, saya diajak keliling-keliling, lihat-lihat papan nama toko dan lain-lain sampai akhirnya sering dikasi tahu, sering lihat, saya jadi bisa baca. Dan karena saya bisa baca sebelum TK, waktu di TK itu saya tidak lulus.

Tidak lulus?

Iya, sebetulnya mengeluarkan diri. Saya keluar karena dianggap mengganggu. Lah sudah bisa baca, sedangkan yang lain baru belajar baca, ngapain lagi? Ya kerjaannya menganggu yang lain. 

Wawancara dikutip dari Majalah Auladi Edisi 01 Tahun 2005. Sumber foto: koleksi pribadi Andi Yudha Asfandiar
http://www.auladi.org/content/detailcontent/107

Saturday, March 3, 2012

Repot

Pilih mana, repot sekarang dalam 'membentuk' anak dan santai di masa datang, atau santai sekarang tentang pendidikan anak dan repot di masa datang dengan anak yang bermasalah? ;)

Wednesday, February 8, 2012

Tanggung Jawab Pendidikan Iman

Tanggung jawab pendidikan iman.
Yang dimaksud dengan pendidikan iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar Iman, rukun Islam dan dasar-dasar Syariah, sejak anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Kewajiban pendidik/orangtua adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga, anak akan terikat dengan Islam, baik akidah maupun ibadah, disamping penerapan metode maupun peraturan. Setelah petunjuk dan pendidikan ini, ia hanya akan mengenal Islam sebagai din-nya, Al Quran sebagai imamnya, dan Rasulullah sebagai pemimpin dan teladannya.
Berikut tuntunan Rasul :
a. Membuka kehidupan Anak dengan kalimat Laa Ilaa ha Illallaah..
b. Mengenalkan hukum halal haram
c. Menyuruh Anak beribada pada usia 7 tahun
d. Mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya dan membaca Al Quran.
(disarikan dari Mendidik Anak Dalam Islam, Abdullah Nasih Ulwan)

Thursday, February 10, 2011

Masa Perkembangan Anak Menurut Syariah

  • Masa bayi (semenjak lahir hingga usia 2 tahun)  Pada masa ini orangtua khususnya ibu perlu mengembangkan kasih sayang dua arah (memberikan kasih sayang sekaligus mengembangkan kemampuan anak untuk memberikan respon.
  • Masa Kanak-kanak/thufulah (2-7 tahun)  Masa untuk memberikan dasar-dasar tauhid kepada anak melalui pendekatan yang merangsang anak untuk memiliki tauhid yang aktif (yang mendorongnya untuk bergerak melakukan sesuatu yang baik menurut Allah).
  • Masa Tamyiz (7-10 tahun)  Ini merupakan masa awal membedakan baik dan buruk serta benar dan salah melalui penalarannya.  Pada masa ini anak perlu mendapat pendidikan pokok syari'at.
  • Masa Amrad (10-15 tahun)  Pada masa ini anak memerlukan pengembangan potensi-potensinya untuk mencapai kedewasaan dan kemampuan bertanggung jawab secara penuh.  Pada masa ini juga anak mencapai 'aqil baligh (=akalnya sampai).  Salah satu tuntutan atas seorang anak yang mencapai 'aqil baligh adalah sifat kecendekiaan yang dicirikan oleh kemampuan memenej harta (ekonomi/anggaran).  Awalnya adalah anggaran untuk diri sendiri.
  • Masa Taklif (15-18 tahun)  Menginjak usia 15 tahun, semestinya seorang anak sudah mencapai taklif (=bertanggungjawab).  Selambat-lambatnya 18 tahun bagi laki-laki, dan 17 tahun bagi perempuan seorang anak sudah bisa bertanggungjawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat tempat tinggalnya, dan masyarakat dunia.
Seorang anak perlu persiapan untuk mampu bertindak dan bersikap sesuai dengan kualifikasi taklif.  Di sinilah peran orangtua -dan lembaga pendidikan- untuk memperisapkan anak sejak awal keberadaannya.

(dari "Mendidik Anak Menuju Taklif", M. Fauzil Adhim)

Monday, February 7, 2011

Memberi Seperti Bercocok Tanam


Infaq berasal dari kata anfaqa (اَنْفَقَ), yunfiqu (يُنْفِقُ), infaaqan (اِنْفَاقًا) yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam.
Allah memerintahkan manusia supaya melakukan infaq dan membelanjakan sebagian rizqi yang telah dilimpahkan-Nya kepada fakir, miskin, orang yang sangat memerlukannya dan untuk kebaikan dan kemanfaatan orang banyak.
Allah tetap dan pasti membalas infaq atau belanja yang telah dikeluarkan hamban-Nya, dan akan dibalas berlipat ganda. Allah membalas dengan cara-Nya sendiri, baik hamba-Nya sadar atau tidak sadar, balasan-Nya akan melimpah kepadanya di dunia atau ditangguhkan pada waktu yang ditentukan-Nya sendiri atau ditangguhkan-Nya pada hari akhirat kelak.
Keutamaan infaq ini terdapat dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 261:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui

Dalam Tafsir ILMA Surah Al-Baqarah, kandungan ayat 261, disebutkan:

Jika kita punya uang satu juta,
lalu disedekahkan seratus ribu, uang kita tinggal berapa? 900 ribu! Uang kita memang berkurang. Tapi, Allah berjanji akan menggantinya berlipat ganda
(ayat 261). “... bagaikan sebutir biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai.
Dalam setiap tangkai terdapat seratus biji ....” Penggantinya mungkin bukan uang lagi. Tapi, kita jadi punya sahabat yang akan membantu jika suatu saat kita mengalami kesulitan. Atau juga, perbuatan kita diteladani, sehingga banyak orang yang mau saling memberi.

(Sumber: Tafsir I Love My Al-Quran (ILMA) jilid 2 halaman 44)

by I Love my Al-Quran (ILMA)